Jadilah diri sendiri; Diri orang lain sudah ada yang memiliki.
— Oscar Wilde.
Inilah pos pertama di blog baru saya. Saya baru saja memulai blog baru ini, jadi ikuti terus untuk melihat konten lainnya. Berlangganan di bawah untuk mendapatkan pemberitahuan ketika saya mengeposkan pembaruan terbaru.
Berbagai media massa baik cetak maupun elektronik mengungkapkan berbagai perbincangan soal pendidikan. Hampir setiap hari memuat berita dan telaah tentang pendidikan di Indonesia. Kurikulum berganti dan berubah, secara mendasar dan teknis, pada setiap pergantian kabinet baru.
Salah satu persoalan yang kemudian muncul adalah masalah kurikulum yang menjadi kebijakan pemerintah. Pendidikan eksperimental dengan kekhasannya berhadapan dengan kurikulum nasional yang merupakan salah satu kebijakan pendidikan yang dibuat oelh pemerintah. Sesuai dengan kurikulum nasional ini maka proses belajar mengajar , buku teks dan ujian akhir nasional menjadi diseragamkan.
Kurikulum 2006 dikritik karena memberi terlalu banyak mata pelajaran dan materi kurikulumnya dianggap terlalu padat. Padatnya kurikulum berdampak pada padatnya informasi dalam buku teks. Memang pendidikan dilihat sebagai proses transfer of knowledge dan transfer of value dengan kekuasaan yang bekerja di dalamnya. Namun proses transfer of knowledge dan transfer of value tidak hanya dilihat sebagai sebuah proses linier. Pengetahuan itu sendiri mengalamai proses pembentukannya sendiri yang meliputi konstruksi – dekonstruksi dan rekonstruksi, Kekuasaan bekerja di dalam proses pembentukan pengetahuan dan penyebarannya (atau proses transfernya) di antara manusia.
Mengamati perkembangan dunia pendidikan di negri ini mengingatkan pada pernyataan yang diungkapkan oleh bapak pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara yaitu; ing ngarso sing tulodho” yaitu ketika di depan publik kita harus memberikan contoh yang baik bagi orang lain. kedua “ing madyo mangun karso” ketika di tengah atau di antara publik, kita harus mangon karso atau bekerja keras dan membangun kinerja yang baik. Ke tiga “tut wuri handayani” ketika di belakang kita harus memberi semangat dan motivasi kepada orang lain.
Ada banyak pelajaran penting yang dapat diambil dari pernyataan yang di sampaikan beliau. Setidaknya nanti dapat dijadikan barometer untuk mengukur seberapa jauh perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia. Semenjak terpilihnya Nadiem Anwar Makarim, generasi milenial yang diangkat oleh presiden Joko Widodo menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan (MENDIKBUD) nyatanya banyak formulasi baru yang mulai diberikan meskipun jelas banyak sekali pro kontra yang muncul. Salah satunya adalah tentang penghapusan ujian nasional pada tahun 2021.
Sehingga oleh Mendikbud Nadhiem Makarim mencetuskan “ Merdeka Belajar”. Karena melihat kondisi pendidikan bangsa Indonesia yang memprihatinkan ini. Berdasarkan hal tersebut Mendikbud Nadhiem Makarim mengeluarkan permendikbud No 14 Tahun 2019 tentang penyederhanaan pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Dengan adanya kebijakan baru tentang penyederhanaan RPP ini, guru bebas membuat, memilih, mengembangkan, dan menggunakan RPP sesuai dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi pada murid. Efisien berarti penulisan RPP dilakukan dengan tepat dan tidak menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Efektif berarti penulisan RPP dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Berorientasi pada murid berarti penulisan RPP dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan, ketertarikan, dan kebutuhan belajar murid di kelas. Guru dapat tetap menggunakan format RPP yang telah dibuat sebelumnya, atau bisa juga memodifikasi format RPP yang sudah dibuat.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis ingin mengambil judul makalah ini adalah “Merdeka Berlajar bernuansa Kurikulum 2013”
Permasalahan
Berdasrkan latar belakang diatas penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
Apa yang dimaksud merdeka belajar?
Bagaimana pelaksanaan merdeka belajar?
Apa kurikulum 2013?
Bagaimana pelaksanaan merdeka belajar pada pelaksanaan kurikulum 2013?
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian adalah :
1. Apakah dengan merdeka belajar dapat meningkatkan aktifitas siswa kelas VI SD 1 Getas pejaten ?
2. Apakah dengan merdeka belajar dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI SD 1 Getas pejaten
Manfaat
1. Bagi Siswa
a. Meningkatkan aktivitas belajar siswa.
b. Meningkatkan prestasi belajar siswa.
c. Melatih tanggung jawab dan hidup bersosial antarsiswa.
d. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan di dalam kelas.
2. Bagi Guru
a. Membantu guru untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran.
b. Mengembangkan inovasi-inovasi dalam pembelajaran.
c. Menumbuhkan minat guru untuk memecahkan masalah melalui penelitian tindakan kelas.
3. Bagi Sekolah
a. Meningkatkan mutu pendidikan.
b. Bahan penilaian masyarakat tentang prestasi sekolah.
Kajian Teori
Merdeka
Para pekamus umumnya sepakat bahwa kata merdeka berasal dari bahasa Sanskerta maharddhikeka. Dalam Kamus Indonesia (G. Kolff & Co., Bandung, 1951) Elisa Sutan Harahap menyerapnya menjadi merdehéka. Artinya, kata Elisa, “orang saleh, pandai agama, diketahuinja jang akan djadi sesudah mati, sebab itu ia mendapat untung kelebihan.”
Sedangkan kata merdeka, menurut Harahap, berarti lepas dari perhambaan, tiada terikat pada sesuatu. Sebaliknya, WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (PN Balai Pustaka, Djakarta, 1966) menganggap yang baku adalah merdeka, bukan merdeheka. Merdeka artinya “bebas (dr perhambaan, pendjadjahan dsb); berdiri sendiri (tidak terikat, tidak bergantung pd sesuatu jg lain); lepas (dr tuntutan).”
Dalam KBBI merdeka berarti bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri: ; tidak terkena atau lepas dari tuntutan: — dari tuntutan penjara seumur hidup; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa: majalah mingguan –; boleh berbuat dengan –;bebas merdeka (dapat berbuat sekehendak hatinya).
Tetapi arti merdeka di sini diartikan dengan kebebasan yang masih terikat oleh aturan – aturan yang berlaku dalam sebuah tatanan kehidupan pendidikan.
Belajar
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau praktek yang diperkuat. Belajar merupakan hasil dari interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilaku. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah bahwa bentuk input dan output dari stimulus dalam bentuk tanggapan.
Stimulus adalah apa yang guru kepada siswa, sedangkan reaksi atau respon dalam bentuk tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon penting untuk dicatat karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur.
Menurut Hamalik (2010) belajar adalah bukan suatu tujuan tetapi merupakan proses untuk mencapai tujuan. Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman.
Sedangkan menurut Hilgard (dalam Sanjaya, 2007) “ learning is the process by which an activity originates or changed through training procedures (wether in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from changes by factors not attributable to training “(belajar adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah).
Merdeka belajar
Filosofi “Merdeka Belajar” disarikan dari asas penciptaan manusia yang merdeka. Di antara pelbagai makhluk Tuhan, dengan fasilitas akal, manusia adalah makhluk yang merdeka untuk memilih jalannya sendiri, baik jalan kebaikan maupun jalan keburukan Tidak ada seorangpun atau apapun yang memaksa atau menghalangi manusia untuk menentukan dua jalan tersebut. Tuhan hanya memberi fasilitas berupa kehidupan (ruh) dan organ (sebagai alat) yang bisa digunakan manusia untuk memilih jalan. Karena itu, sebagai makhluk yang merdeka, insan harus bertanggungjawab atas perbuatannya dan ia tidak punya alasan untuk menyudutkan Tuhan dalam kejahatan yang dilakukannya.
Dan pendidikan yang baik harus memperhatikan asas kemerdekaan yang merupakan hadiah terbaik yang diberikan Tuhan kepada manusia, sehingga pendidikan tidak boleh bertentangan dengan asas kemerdekaan manusia.
Merdeka belajar bermakna kemerdekaan belajar, yakni memberikan kesempatan belajar sebebas-bebasnya dan senyaman-nyamannya kepada anak didik untuk belajar dengan tenang, santai dan gembira tanpa stres dan tekanan dengan memperhatikan bakat alami yang mereka punyai, tanpa memaksa mereka mempelajari atau menguasai suatu bidang pengetahuan di luar hobi dan kemampuan mereka,sehingga masing-masing mereka mempunyai portofolio yang sesuai dengan kegemarannya. Sebab, memberi beban kepada pelajar di luar kemampuannya adalah tindakan yang tercela secara akal sehat dan tidak mungkin dilakukan oleh guru yang bijak. Ini tak ubahnya seperti murid yang buta lalu guru memimtanya menceritakan apa dan bagaimana matahari itu kepada teman-temannya.
Bila kemerdekaan belajar terpenuhi maka akan tercipta “belajar merdeka” atau “pembelajaran yang merdeka” dan sekolahnya disebut sekolah yang merdeka atau sekolah yang membebaskan.
Ki Hajar Dewantara menekankan berulang kali tentang kemerdekaan belajar. “…kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu “dipelopori”, atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan tetap biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahaun dengan menggunakan pikirannya sendiri…” Ki Hadjar Dewantara (buku Peringatan Taman-Siswa 30 Tahun, 1922-1952). Anak pada dasarnya mampu berpikir untuk “menemukan” suatu pengetahuan
Belajar merdeka mencirikan pembelajaran yang kritis, berkualitas, ekspres (cepat), transformatif, efektif, aplikatif, variatif, progresif, aktual dan faktual. Para pelajar yang belajar berbasis kemerdekaan akan senantiasa enerjik, optimis, prospektif, kreatif dan selalu berani untuk mencoba yang baru.
Mereka senantiasa lapar dan haus akan ilmu. Para pelajar kategori ini menganggap bahwa membaca buku yang bergizi tak kalah nikmatnya dengan menyantap makanan.
Mereka tertantang untuk menghadapi kesulitan belajar; mereka selalu ingin bisa dan pantang untuk menyerah sebelum mencoba, mereka tidak bergantung kepada orangtua, guru, sekolah dan sistem/aturan. Dimanapun mereka berada, mereka menjadi pribad-pribadi yang menyenangkan, berpengaruh dan bermanfaat
Kurikulum 2013
Alasan edukasional berbasis kepada pencapaian pelajar nasional di dalam The IEA’s Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Mengutip rilis Kemendikbud, di dalam tes tersebut 95% murid Indonesia hanya mampu menjawab soal hingga tingkat kesulitan menengah di dalam semua mata pelajaran teruji (Matematika, Ilmu Alam, Membaca Inggris) yang mengindikasikan terdapat kesenjangan bahkan ketimpangan antara praktik dan materi ajar sekolah Indonesia dengan pendidikan internasional pada umumnya.
Berdasarkan kepada hasil tes tersebut, Kurtilas dikembangkan dan diterapkan dengan fokus menciptakan generasi masa depan Indonesia yang mampu berpikir dan berkomunikasi jernih dan luas, toleran dan bertanggung jawab moral dalam setiap langkah. Selain itu, berpandangan dan berminat luas dengan perspektif global.
Sementara itu dalam konteks sosio-ekonomis, penerapan Kurikulum 2013 ditujukan untuk menyiapkan generasi masa depan yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif dalam rangka menyambut ragam implementasi masyarakat ekonomi seperti WTO, Komunitas ASEAN, CAFTA, APEC.
Empat poin perubahan yang dimiliki Kurikulum 2013 Revisi dibandingkan
kurikulum asli.
Empat poin tersebut terletak dalam:
1. Tanggung Jawab Penilaian Kompetensi Spiritual dan Sosial
Apabila di dalam Kurikulum 2013 setiap guru mata pelajaran wajib melakukan tes dan menilai kompetensi spiritual dan sosial murid dalam konteks mata pelajaran, maka dalam Kurtilas revisi tanggung jawab tes dan penilaian hanya diampu oleh guru Agama (Kompetensi Spiritual) dan Budi Pekerti (Kompetensi Sosial). Guru mata pelajaran cukup mencantumkan laporan pendekatan belajar kompetensi tersebut di dalam mata pelajaran terkait.
2. Koherensi Kompetensi Inti
Efek berantai dari poin satu adalah Kompetensi Inti menjadi lebih koheren dengan Kompetensi Dasar mata pelajaran. Dengan kompetensi inti yang lebih koheren, kembali guru mata pelajaran terkait dikurangi bebannya sehingga dapat lebih fokus kepada penguasaan materi dan kompetensi yang memang sesuai dan berbasis mata pelajaran, sembari tetap menyisipkan karakter-karakter mulia di dalam praktik pengajaran.
3. Membuka Ruang Kreatif bagi Guru
Rantai efek selanjutnya dari poin satu dan poin dua adalah, guru menjadi lebih fleksibel, lentur, dan leluasa merancang ragam pendekatan dan materi ajar. Tumpang tindih antara KD Mata Pelajaran, KI Spiritual dan Sosial, berikut pendekatan 5 M (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, dan mencipta) kerap memaksa guru kembali menghamba kepada buku paket Kurtilas. Diharapkan dengan revisi poin 1 dan poin 2 membuka keran kreativitas guru dalam merancang pendekatan ajar.
4. Keluasan Taksonomi Kemampuan Peserta Didik
Pada Kurtilas edisi awal taksonomi, yang mengadopsi Bloom dibatasi per jenjang, hanya sampai memahami untuk SD, menerapkan dan menelaah untuk SMP, dan mencipta untuk SMA. Kini taksonomi tersebut secara utuh diterapkan di seluruh jenjang. Jadi sangat dimungkinkan untuk seorang peserta SD dengan potensi dan bimbingan yang tepat dapat saja mencapai tataran penciptaan di dalam praktik belajar.
Jika dilihat edisi revisi Kurikulum 2013 menerbitkan harapan akan hadirnya pendidikan dan persekolahan yang lebih ramah tumbuh-kembang peserta didik.
Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
Penyelesaian masalah merupakan proses dari menerima tantangan dan usaha – usaha untuk menyelesaikannya sampai menemukan penyelesaiannya. menurut Syaiful Bahri Djamara (2006 : 103) bahwa:
Metode problem solving (metode pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu metode berfikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode lain yang dimulai dari mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.
Menurut N.Sudirman (1987:146) metode problem solving adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam usaha untuk mencari pemecahan atau jawabannya oleh siswa. Sedangkan menurut Gulo (2002:111) menyatakan bahwa problem solving adalah metode yang mengajarkan penyelesaian masalah dengan memberikan penekanan pada terselesaikannya suatu masalah secara menalar.
Senada dengan pendapat diatas Sanjaya (2006:214) menyatakan pada metode pemecahan masalah, materi pelajaran tidak terbatas pada buku saja tetapi juga bersumber dari peristiwa – peristiwa tertentu sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Ada beberapa kriteria pemilihan bahan pelajaran untuk metode pemecahan masalah yaitu:
a) Mengandung isu – isu yang mengandung konflik bias dari berita, rekaman video dan lain – lain
b) Bersifat familiar dengan siswa
c) Berhubungan dengan kepentingan orang banyak
d) Mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki siswa sesuai kurikulum yang berlaku
e) Sesuai dengan minat siswa sehingga siswa merasa perlu untuk mempelajari
Dalam pelaksanaan pembelajaran sehari-hari metode pemecahan masalah banyak digunakan guru bersama dengan penggunaan metode lainnya. Dengan metode ini guru tidak memberikan informasi dulu tetapi informasi diperoleh siswa setelah memecahkan masalahnya. Pembelajaran pemecahan masalah berangkat dari masalah yang harus dipecahkan melalui praktikum atau pengamatan.
Suatu soal dapat dipandang sebagai “masalah” merupakan hal yang sangat relatif. Suatu soal yang dianggap sebagai masalah bagi seseorang, bagi orang lain mungkin hanya merupakan hal yang rutin belaka. Dengan demikian, guru perlu berhati-hati dalam menentukan soal yang akan disajikan sebagai pemecahan masalah. Bagi sebagian besar guru untuk memperoleh atau menyusun soal yang benar-benar bukan merupakan masalah rutin bagi siswa mungkin termasuk pekerjaan yang sulit. Akan tetapi hal ini akan dapat diatasi antara lain melalui pengalaman dalam menyajikan soal yang bervariasi baik bentuk, tema masalah, tingkat kesulitan, serta tuntutan kemampuan intelektual yang ingin dicapai atau dikembangkan pada siswa.
Pembelajaran problem solving merupakan bagian dari pembelajaran berbasis masalah (PBL). Menurut Arends (2008 : 45) pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri.
Pada pembelajaran berbasis masalah siswa dituntut untuk melakukan pemecahan masalah-masalah yang disajikan dengan cara menggali informasi sebanyak-banyaknya, kemudian dianalisis dan dicari solusi dari permasalahan yang ada. Solusi dari permasalahan tersebut tidak mutlak mempunyai satu jawaban yang benar artinya siswa dituntut pula untuk belajar secara kritis. Siswa diharapkan menjadi individu yang berwawasan luas serta mampu melihat hubungan pembelajaran dengan aspek-aspek yang ada di lingkungannya.
Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan metode pembelajaran problem solving adalah suatu penyajian materi pelajaran yang menghadapkan siswa pada persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran ini siswa di haruskan melakukan penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang diberikan. Mereka menganalisis dan mengidentifikasikan masalah, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi dan membuat kesimpulan.
Manfaat dan Tujuan dari Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving Method)
Manfaat dari penggunaan metode problem solving pada proses belajar mengajar untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih menarik. Menurut Djahiri (1983:133) metode problem solving memberikan beberapa manfaat antara lain :
a) Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan, serta dalam mengambil kepuutusan secara objektif dan mandiri
b) Mengembangkan kemampuan berpikir para siswa, anggapan yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan makin bertambah
c) Melalui inkuiri atau problem solving kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi atau keadaan yang bener – bener dihayati, diminati siswa serta dalam berbagai macam ragam altenatif
d) Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir objektif – mandiri, krisis – analisis baik secara individual maupun kelompok
Berhasil tidaknya suatu pengajaran bergantung kepada suatu tujuan yang hendak dicapai. Tujuan dari pembelajaran problem solving adalah sebagai berikut.
1) Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya.
2) Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hadiah intrinsik bagi siswa.
3) Potensi intelektual siswa meningkat.
4) Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses melakukan penemuan.
c. Langkah – Langkah Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving Method)
Penyelesaian masalah menurut J.Dewey dalam bukunya W.Gulo (2002:115) dapat dilakukan melalui enam tahap yaitu
Tahap – Tahap
Kemampuan yang diperlukan
1) Merumuskan masalah
Mengetahui dan merumuskan masalah secara jelas
2) Menelaah masalah
Menggunakan pengetahuan untuk memperinci menganalisa masalah dari berbagai sudut
3) Merumuskan hipotesis
Berimajinasi dan menghayati ruang lingkup, sebab – akibat dan alternative penyelesaian
4) Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hipotesis
Kecakapan mencari dan menyusun data menyajikan data dalam bentuk diagram,gambar dan tabel
5) Pembuktian hipotesis
Kecakapan menelaah dan membahas data, kecakapan menghubung – hubungkan dan menghitung Ketrampilan mengambil keputusan dan kesimpulan
6) Menentukan pilihan penyelesaian
Kecakapan membuat altenatif penyelesaian kecakapan dengan memperhitungkan akibat yang terjadi pada setiap pilihan
Penyelesaian masalah Menurut David Johnson dan Johnson dapat dilakukan melalui kelompok dengan prosedur penyelesaiannya dilakukan sebagai berikut (W.Gulo 2002 : 117):
1. Mendifinisikan Masalah
Mendefinisikan masalah di kelas dapat dilakukan sebagai berikut:
a)Kemukakan kepada siswa peristiwa yang bermasalah, baik melalui bahan tertulis maupun secara lisan, kemudian minta pada siswa untuk merumuskan masalahnya dalam satu kalimat sederhana (brain stroming). Tampunglah setiap pendapat mereka dengan menulisnya dipapan tulis tanpa mempersoalkan tepat atau tidaknya, benar atau salah pendapat tersebut.
b) Setiap pendapat yang ditinjau dengan permintaan penjelasan dari siswa yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dicoret beberapa rumusan yang kurang relevan. Dipilih rumusan yang tepat, atau dirumuskan kembali (rephrase, restate) perumusan – perumusan yang kurang tepat. akhirnya di kelas memilih satu rumusan yang paling tepat dipakai oleh semua.
2. Mendiagnosis masalah
Setelah berhasil merumuskan masalah langkah berikutnya ialah membentuk kelompok kecil, kelompok ini yang akan mendiskusikan sebab – sebab timbulnya masalah
3. Merumuskan Altenatif Strategi
Pada tahap ini kelompok mencari dan menemukan berbagai altenatif tentang cara penyelesaikan masalah. Untuk itu kelompok harus kreatif, berpikir divergen, memahami pertentangan diantara berbagai ide, dan memiliki daya temu yang tinggi
4. Menentukan dan menerapkan Strategi
Setelah berbagai altenatif ditemukan kelompok, maka dipilih altenatif mana yang akan dipakai. Dalam tahap ini kelompok menggunakan pertimbangan- pertimbangan yang cukup cukup kritis, selektif, dengan berpikir kovergen
5. Mengevaluasi Keberhasilan Strategi
Dalam langkah terakhir ini kelompok mempelajari :
(1). Apakah strategi itu berhasil (evaluasi proses)?
(2). Apakah akibat dari penerapan strategi itu (evaluasi hasil) ?
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan langkah – langkah yang harus diperhatikan oleh guru dalam memberikan pembelajaran problem solving sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah
Dalam merumuskan masalah kemampuan yang diperlukan adalah kemampuan mengetahui dan merumuskan suatu masalah.
2. Menelaah masalah
Dalam menelaah masalah kemampuan yang diperlukan adalah menganalisis dan merinci masalah yang diteliti dari berbagai sudut.
3. Menghimpun dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hipotesis
Menghimpun dan mengelompokkan data adalah memperagakan data dalam bentuk bagan, gambar, dan lain-lain sebagai bahan pembuktian hipotesis.
4. Pembuktian hipotesis
Dalam pembuktian hipotesis kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan menelaah dan membahas data yang telah terkumpul.
5. Menentukan pilihan pemecahan masalah dan keputusan
Dalam menentukan pilihan pemecahan masalah dan keputusan kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan membuat alternatif pemecahan, memilih alternatif pemecahan dan keterampilan mengambil keputusan.
d. Kelebihan dan Kekurangan Pemecahan Masalah (Problem Solving Method)
Pembelajaran problem solving ini memiliki keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan model pembelajaran problem solving diantaranya yaitu melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan, berpikir dan bertindak kreatif, memecahkan masalah yang di hadapi secara realistis, mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan, menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan, merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan masalahyang dihadapi dengan tepat, serta dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan khususnya dunia kerja.
Sementara kelemahan model pembelajaran problem solving itu sendiri seperti beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misalnya terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut. Dalam pembelajaran problem solving ini memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.
BAB II
PEMECAHAN MASALAH
Banyak murid maupun guru yang masuk kelas tanpa tujuan dan kejelasan. Tak heran saat ditanya bagaimana kelas hari ini, atau apa yang dipelajari hari ini, jawaban langganan adalah biasa saja atau tidak tahu.
Jarang murid yang menceritakan betapa topik bahasan tertentu menjawab rasa penasaran, atau guru yang menggambarkan suasana kelas yang mendorong kemahiran.
Kalaupun ada sebagian dari kita yang bisa menggambarkan tujuan, seringkali arahnya adalah bagaimana mencapai penilaian yang tinggi, dari standar orang lain dan bukan diri sendiri.
Kita bisa punya segudang nama; ranking, kriteria kelulusan minimum, rata-rata kelas, berbagai tolok ukur keberhasilan berada pada perbandingan antar orang per orang – jelas bukan tujuan murni belajar untuk belajar
Motivasi internal menguasai pelajaran, memahami konsep penting, melihat kaitan antar pengetahuan dan lain-lain yang berkaitan dengan pendidikan malah jarang terdengar di ruang kelas.
Kebanyakan tujuan yang seolah-olah relevan, berorientasi ego, mengalahkan orang lain dalam kompetisi di kelas yang tidak jelas menuju kemana. Padahal tujuan yang ideal mestinya tujuan perjalanan yang memastikan bahwa seseorang terus berkompetisi dengan dirinya sendiri, karena hanya pada saat itu, komitmen bisa terlatih dan terjadi.
Kita juga bisa mengenali proses belajar-mengajar yang mendorong kemerdekaan lewat atribusi keberhasilan dan kegagalan pada pelajar yang bersangkutan. Bayi yang sedang belajar berjalan dan tak sengaja menabrak, maka yang diperlukan bukan memukul meja. Murid yang sedang belajar di kelas, juga tidak perlu melabel kesalahannya dengan alasan soal yang terlalu sulit atau menjustifikasi kesuksesannya karena kebaikan hati teman.
Proses yang memerdekakan terus menekankan pada kekuatan internal; setiap anak bisa memperbaiki kesalahan asal dijelaskan langkah menuju tujuan dan disiapkan bekal dalam perjalanan. Di sinilah fungsi guru yang sesungguhnya, memindahkan kompas dari tangannya ke tangan anak.
Dalam proses yang ideal, tidak seharusnya ada murid yang ketergantungan pada guru, murid yang menyalahkan nasib atau mengandalkan kecurangan. Komitmen berarti bertanggung jawab, dan sebagaimana namanya hal ini tidak mungkin terjadi instan.
Untuk bisa menumbuhkan komitmen yang berkelanjutan, murid membutuhkan kemampuan memahami tujuan belajar dan peran guru dalam mengajar. Banyak dari kita yang masuk kelas, tanpa memberikan gambaran tujuan dan rute perjalanan kita pada murid, seberapa jauh mereka akan ikut serta dan kapan mereka akan mandiri.
Bahkan aktivitas rutin seperti membaca buku cerita di kelas bisa punya tujuan yang berbeda setiap hari. Mengkaitkan karakter dengan emosi diri, menarik kesimpulan dan memahami pesan, mengapresiasi dalam bentuk baru kreasi, semua tujuan bisa berawal dari bacaan.
Namun jarang sekali kita menjelaskan kerangka besar kegiatan harian, apalagi dalam satu tahun ajaran kepada murid. Sedihnya, kadang kita sendiripun tak paham dan melihat tugas mengajar hanya dari hari ke hari.
Tak heran banyak yang tak sadar saat tersesat atau baru panik menjelang pengukuran/ujian. Padahal tujuan perlu terus ada di pikiran setiap kali masuk kelas, baik untuk guru maupun murid.
Apakah kita menggunakan kegiatan dan melakukan interaksi yang membantu mencapai tujuan adalah bagian dari percakapan harian. Tentu jawabannya tidak akan 100% sempurna, tapi terus membahasnya atau mengingatnya dengan menempel tujuan besar dan tujuan antara di mading kelas, akan membantu semua orang berkomitmen bersama.
Untuk bisa menumbuhkan komitmen berkelanjutan, murid membutuhkan kemampuan memusatkan perhatian, berkaitan dengan pencapaian tujuan harian maupun jangka panjang.
Sebagian anak tidak mendapatkan latihan cukup untuk “terserap” penuh oleh pelajaran. Bisa karena tugasnya membosankan, sehingga tidak ada alasan berkonsentrasi sementara banyak hal lain yang lebih menarik perhatian di dalam maupun di luar kelas.
Saya selalu membayangkan mengajar sebagaimana merancang pertunjukan, kita perlu menawarkan pancingan yang menarik buat anak, sehingga walaupun ada alternatif saluran lain ataupun jeda iklan, mereka akan dengan sukarela mengikuti pertunjukan sampai tuntas.
Terkadang juga, anak bisa gagal memusatkan perhatian karena tuntutan perhatian yang terlalu panjang, tidak dipecah menjadi lebih kecil dan sederhana sesuai tahapan perkembangan. Setiap aktivitas kelas perlu dipikirkan, bahkan yang sudah setiap hari kita lakukan, anak per anak tidak bisa disamaratakan.
Bagaikan air time pertunjukan yang luar biasa mahal, perhatian dan kesempatan anak belajar adalah sesuatu yang luar biasa dan tidak boleh disia-sia. “Sekedar” membaca buku fiksi maupun non fiksi misalnya, membutuhkan tingkat konsentrasi yang berbeda di tiap usia.
Topik bacaan yang relevan, panjang teks yang masuk akal, teknik yang digunakan untuk menarik perhatian, perlu dibedakan di tiap jenjang kelas dan kemampuan.
Belajar-mengajar yang berkomitmen pada tujuan pasti mampu menetapkan prioritas, bahkan di saat tujuan seolah-olah bertentangan atau tidak saling berkaitan. Kita seringkali tidak sadar bahwa anak di dalam kelas bisa jadi terbebani oleh banyak sekali hal.
Tujuan antar satu jam pelajaran dengan yang lain yang seolah tidak berhubungan atau bahkan saling menghambat karena waktu untuk menyelesaikan semuanya bersamaan sangat terbatas. Guru yang tidak saling berkoordinasi, bahkan kadang terkesan saling berkompetisi, dalam menarik minat murid, dalam menuntut pretasi lebih.
Ekosistem sekolah yang baik selalu berpusat pada tujuan besar, melihat apa yang dilakukan guru ataupun cakupan materi pelajaran sebagai cara yang memperlancar proses menuju apa yang disepakati. Saat ditekan tenggat waktu, dihimpit tugas administrasi dan diserang kekhawatiran orang, bahkan kita pendidik orang dewasa pun sering kalang kabut.
Bayangkan anak yang belum dewasa, dengan pengalaman dan daya terbatas, yang harus mengalami hal yang sama. Tak heran yang terjadi adalah saling serang; antar guru dengan kepala sekolah, antar guru, antar murid atau bahkan orangtua dan pengawas.
Bukannya menguatkan komitmen pendidikan, yang terjadi adalah mengutamakan tujuan diri sendiri, karena takut disalahkan. Bukannya terus saling membantu mencari cara, yang terjadi saling berkomplot untuk jalan pintas.
Tujuan-tujuan jangka pendek yang kalau dalam situasi normal dianggap tidak berharga, mendadak menjadi sangat penting dan utama. Demi akreditasi, demi menang sendiri, demi pentas seni, selalu ada alasan, kegiatan atau kemasan menarik yang seringkali seolah “mendukung” tujuan.
Pertanyaannya, kapan kita berkomitmen berjalan ke jangka panjang, kalau pilihan harian dan jangka pendek kita bukannya mendekatkan, malah menjauhkan dari tujuan?
Tiga hal esensial yang menumbuhkan komitmen merdeka belajar, jelas menunjukkan bahwa komitmen bukan soal orang per orang, komitmen terhadap tujuan bisa dan harus ditularkan. Dari kepala sekolah ke guru, dari guru ke guru lain, dari guru ke anak, dari satu anak ke anak lain, satu orangtua ke orangtua lain.
Karenanya syarat pertama adalah pendidik yang memahami pentingnya tujuan pendidikan, memahami peran dirinya dalam pencapaian tujuan dan bisa melibatkan paling tidak 1-2 orang di lingkungan secara bertahap sampai semua kita bisa diyakinkan.
Karena merdeka belajar adalah hak setiap guru dan setiap anak.
Timbul pro dan kontra. Tiba-tiba Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim, merilis 4 program pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”, yang mencakup: 1) penerapan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), 2) pengubahan Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, 3) pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang efisien dan efektif, dan 4) Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi yang lebih fleksibel.
Merdeka belajar, sudah tentu kebijakan tersebut lahir dari evaluasi sistem d\an proses pendidikan yang selama ini berlangsung. Tujuannya sederhana, agar siswa, guru bahkan orang tua terlibat aktif dalam kegiatan belajar yang menyenangkan; menjadi bagian dari proses pendidikan yang membahagiakan. Karena hakikatnya, pendidikan bukanlah beban. Beban siswa yang dijejali beragam mata pelajaran dan nilai-nilai tertinggi hingga membunuh kerativitas. Beban guru yang lebih banyak terlibat urusan administrasi bahkan kepangkatan yang jadi sebab ruang geraknya tidak merdeka di dalam kelas.
Bolehlah, kebijakan “Merdeka Belajar” sebagai momentum untuk mengembalikan literasi pendidikan ke khittah. Pendidikan yang memerdekakan. Karena memang, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran bagi peserta didik secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya. Agar literat dalam spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan.
Suka tidak suka, literasi pendidikan di Indonesia memang sudah menyimpang. Pendidikan secara proses telah berkembang menjadi beban, baik bagi siswa, guru maupun orang tua. Praktisi pendidikan seakan lupa, bahwa pendidikan harusnya bertumpu pada 1) penciptaan suasana belajar yang menyenangkan, 2) pendidikan pun bisa dibimbing orang lain (guru) atau otodidak (mandiri), dan 3) pendidikan harus mampu “menuntun ke luar” peserta didik dalam menerima realitas dan mengantisipasi dinamika zaman. Maka kebijakan “Merdeka Belajar” secara spirit harus dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan literasi pendidikan ke khittah, ke ke garis besar perjuangan pendidikan itu sendiri. Ada kesetaraan antara landasan berpikir dan ikhtiar belajar.
Literasi pendidikan itu penting dan melebihi proses pendidikan itu sendiri. Siapapun yang terlibat dalam proses pendidikan; siswa, guru maupun orang tua harus sadar dan paham bahwa pendidikan pada akhirnya berujung pada kemampuan dan keterpahaman siswa sebagai individu. Bukan karena pengaruh “kekuasaan” belajar yang dipegang guru di sekolah atau orang tua di rumah. Itulah basis literasi pendidikan, untuk menimbulkan kesadaran belajar yang mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, literasi pendidikan sangat menghendaki orientasi kebijakan pendidikan di Indonesia yang tidak lagi bertumpu pada penyeragaman administrasi; seperti kurikulum, aturan-aturan guru, dan kewajiban-kewajiban siswa. Khittah pendidikan seharusnya 1) mampu memerdekakan guru dalam mengajar dan 2) memberi ruang kreativitas siswa dalam belajar sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan. Karena hakikatnya, literasi pendidikan selalu mempersilakan rasa ingin tahu, terjadi komunikasi dialogis, ada ruang kreativitas, dan mampu berkolaborasi untuk meraih kepercayaan diri.
Harus diakui, banyaknya keluhan dan perilaku belajar yang bertentangan dengan norma-norma pendidikan selama ini adalah akibat rendahnya pemahaman tentang pentingnya literasi pendidikan. Hingga jadi sebab sikap masyarakat menjadi apriori dan apatis terhadap pendidikan dan proses belajar.
Sekalipun bukan satu-satunya indikator, merosotnya peringkat Indonesia pada Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, yang berada di urutan ke-72 dari 77 negara akan kemampuan membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan atau sains yang dirilis OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) harusnya jadi momentum untuk membenahi arah kebijakan politik pendidikan dan praktik pendidikan yang berlangsung selama ini.
Justru amat disayangkan, bila anggaran pendidikan dari APBN yang mencapai 20% atau sekitar 450 triliun untuk pendidikan berbanding terbalik dengan prestasi siswa-siswa Indonesia. Bila anggaran pendidikan terus meningkat dan biaya pendidikan kian mahal harusnya prestasi belajar semakin meningkat. Jadi, semua pihak harus introspeksi diri terhadap praktik pendidikan di Indonesia selama ini.
Untuk pendidikan yang lebih baik, kini saatnya masyarakat ikut mengawal penerapan kebijakan “Merdeka Belajar” berjalan dengan optimal. Memang tidak mudah, akibat sistem pendidikan Indonesia yang sudah “membatu”, utamanya budaya guru dalam mengajar. UN (Ujian Nasional) bukan dihapus. Tapi diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang bertumpu pada kemampuan literasi, numerasi, dan pendidikan karakter peserta didik
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN(RPP)
KELAS VI SD
Sekolah :SD 1 GETASPEJATEN
Kelas /Semester : VI / 2
Mata Pelajaran : Matematika
Pelajaran : Bangun Ruang
Sub Pelajaran : Prisma
Alokasi Waktu : 3 x Pertemuan
TUJUAN PEMBELAJARAN
Siswa mampu menjelaskan jenis- jenis bangun ruang prisma
Siswa mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan bangun ruang prisma.
LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
Kegiatan
Deskripsi
Alokasi Waktu
Pendahuluan
Melakukan Pembukaan dengan Salam dan Dilanjutkan Dengan Membaca Doa (Orientasi)Mengaitkan Materi Sebelumnya dengan Materi yang akan dipelajari dan diharapkan dikaitkan dengan pengalaman peserta didik (Apersepsi)Memberikan gambaran tentang manfaat mempelajari pelajaran yang akan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. (Motivasi)
16 pertemuan x 10 menit
Kegiatan Inti
Mengamati Siswa mengamati jenis- jenis bangun ruang prisma. Guru menjelaskan jenis- jenis bangun ruang prisma. (Communication)MenanyaGuru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang materi yang disampaikanSiswa menanyakan penjelasan guru yang belum di pahami tentang bangun ruang prisma. (Communication)MenalarSiswa mencoba berdiskusi dengan temannya tentang bangun ruang prisma. (Critical Thinking and Problem Solving)Guru menunjuk beberapa siswa untuk maju dan menjelaskan hasil diskusi tentang bangun ruang prisma dengan bimbingan guru.MencobaGuru memberikan soal latihan tentang bangun ruang prisma kepada siswa. (Mandiri, Critical Thinking and Problem Solving)Guru meminta siswa untuk mengerjakan soal latihan tersebut secara individu. (Mandiri)Guru menunjuk beberapa siswa untuk menuliskan hasil pekerjaanya didepan kelas secara bergantian. Mengkomunikasikan Siswa mempresentasikan secara lisan kepada teman-temanya tentang bangun ruang prisma. Siswa menyampaikan manfaat belajar bangun ruang prisma yang dilakauan secara lisan di depan teman dan guru. (Communication)
1 pertemuan x 50 menit
Penutup
Guru menyampaikan tugas dirumah kerja sama dengan Orang Tua, Siswa menyelesaikan tugas rumah sendiri dengan bimbingan orang tua. Peserta Didik : Membuat resume (CREATIVITY) dengan bimbingan guru tentang point-point penting yang muncul dalam kegiatan pembelajaran tentang materi yang baru dilakukan.Guru : Memeriksa pekerjaan siswa yang selesai langsung diperiksa.
16 pertemuan x 10 menit
PENILAIAN
Penilaian terhadap materi ini dapat dilakukan sesuai kebutuhan guru yaitu dari pengamatan sikap, tes pengetahuan dan presentasi unjuk kerja atau hasil karya/projek dengan rubric penilaian.
MengetahuiKepala Sekolah,( TITIK SUBEKTTI,S.Pd )
……, …………………… 20 …..Guru Kelas VI( ZULIKAH)
KESIMPULAN
Pada dasarnya merdeka belajar sudah dilaksanakan pada setiap sekolah tetapi belum diadministrasikan secara baik dan maksimal. Untuk itu sekolah diharapkan mengadministrasikan semua kegiata belajar.
Semenjak Mendikbud Nadhiem Makarim mendengungkan “ Merdeka Belajar” seluruh sekolah berusaha melaksanakan merdeka belajar. Merdeka belajar di kurikulum 2013 sudah terlaksana pada pembelajarannya,
DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard I. (2008) . Learning to Teach Belajar untuk Mengajar. (Edisi Ketujuh/ Buku Dua). Terjemahan Helly Pajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
buku Peringatan Taman-Siswa 30 Tahun, 1922-1952
Djalal, M.F. 1986. Penilaian Dalam Pengajaran Bahasa Asing. Malang: P3T IKIP Malang
Dr. Nana Sudjana. (1998:28)wordpres.com/2011/07/03/definisi-belajar.
Dhajiri, Ahmad Kosasih. (1985). Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral-VCT dan Games dalam VTC. Bandung : Jurusa PMPKn IKIP
Gulo, W. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Grasindo
Ini adalah contoh pos yang aslinya dipublikasikan sebagai bagian dari Blogging University. Ikuti salah satu dari sepuluh program kami, dan mulai buat blog dengan tepat.
Anda akan memublikasikan pos hari ini. Jangan khawatir dengan tampilan blog Anda. Jangan khawatir jika Anda belum memberinya nama, atau merasa bingung. Cukup klik tombol “Pos Baru”, dan beri tahu kami apa yang ingin Anda lakukan di sini.
Mengapa harus melakukannya?
Karena ini memberikan konteks kepada pembaca baru. Apa fokus Anda? Mengapa mereka harus membaca blog Anda?
Karena ini akan membantu Anda fokus pada gagasan Anda sendiri mengenai blog ini dan yang ingin Anda lakukan di dalamnya.
Posnya bisa singkat atau panjang, pengantar personal mengenai kehidupan Anda atau pernyataan misi blog, sebuah manifesto untuk masa depan, atau garis besar sederhana tentang hal yang ingin Anda publikasikan.
Berikut ini beberapa pertanyaan untuk membantu Anda memulai:
Mengapa Anda memilih untuk menulis blog secara publik daripada menulis jurnal pribadi?
Topik apa yang ingin Anda tulis?
Siapa yang ingin Anda jangkau melalui blog Anda?
Jika Anda berhasil menulis blog dengan lancar sepanjang tahun depan, apa yang ingin Anda raih?
Tidak ada yang mengikat Anda. Salah satu hal yang menakjubkan tentang blog adalah perubahannya yang terus menerus seiring kita belajar, tumbuh, dan berinteraksi satu sama lain. Namun Anda sebaiknya mengetahui tempat dan alasan memulai, dan mengartikulasikan target Anda mungkin dapat memberikan beberapa ide lain untuk pos Anda.
Tidak tahu cara memulai? Tuliskan saja hal pertama yang muncul di kepala. Anne Lamott, pengarang buku tentang menulis yang kita suka, berkata bahwa Anda harus merelakan diri untuk menulis “konsep pertama yang jelek”. Tidak usah malu. Apa yang dikatakan Anne sangat bagus — mulai menulis saja dulu, dan sunting nanti jika tulisan sudah selesai.
Saat sudah siap memublikasikan, berikan tiga sampai lima tag pada pos yang menjelaskan fokus blog Anda, apakah itu tentang menulis, fotografi, fiksi, pengasuhan anak, makanan, mobil, film, olahraga, apa saja. Tag ini akan memudahkan orang lain yang tertarik dengan topik Anda menemukan Anda di Pembaca. Pastikan salah satu tagnya “zerotohero” agar blogger baru lainnya dapat menemukan Anda juga.